Tuesday, June 12, 2018

Menyambangi Geopark Ciletuh dan Ujung Genteng (Seri 2)

Waktu melambat pelan.  Matahari pun seolah malas untuk beringsut.  Semua seolah dalam slow motion masal.  Begitulah ketika aku sudah kenyang dan cangkir kopi hampir habis.  Apalagi angin sepoi-sepoi basah yang dirasakan dari tempat duduk yang memandang luas pada teater alam geopark.

Ujung-ujungnya adalah mata menjadi terkantuk-kantuk.  Kesipitan mataku hampir menjadi garis.  Nyaman dan angler kalau berlanjut menjadi tidur pagi.  Setelah semalaman tak tidur sempurna.

Beruntunglah sang Pria budiman segera memberikan komando bahwa rombongan harus segera menuju lokasi wisata berikutnya.  Oh iya yaa... open trip ini bukan acara motret rame-rame.  Tapi wisata.  Wisata menelusuri seluk beluk Geopark Ciletuh nan sexy.  Kalau trip motret biasanya hanya beraksi pada waktu-waktu tertentu.  Misal menjelang sunrise atau saat sunset.  Siang biasanya dipake untuk istirahat.



Pagi ini akan dihabiskan dengan mengunjungi curug Awang.  Curug yang dikenal sebagai Niagara mini dari Sukabumi.  Pertama kali aku berkunjung ke curug untuk memotret.  Tak lupa ku tenteng tripod karena ingin mengambil air pada posisi slow motion sekian detik.

Berhubung yang akan berwisata sebagian besar tukang potret, maka kami menyiapkan hal yang sama.  Sang tour guide budiman hanya pasrah dan senyam senyum saja.  Aku mengenal dia saat mengikuti tour fotografi ke Dieng dan Yogya.

Meluncurlah kami menuju lokasi.  Tak jauh dari lokasi pertama, mobil memasuki jalan tanah dan penuh pepohonan.  Lalu berhenti pada daerah parkir mobil.  Kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki beberapa ratus meter.  Oh ya yang perlu diingat, saat menuju curug atau air terjun, lokasi biasanya naik atau turun.  Bisa dipastikan perlu kekuatan dengkul untuk naik atau turun.

Tak lama kemudian terlihat curug Awang dikejauhan.  Segera saja formasi berubah.  Yaa namanya tukang foto, masing-masing pengen motret sesuka hati masing-masing.  Bubar dah pokoknya.

Aku pengen motret dari bawah. Artinya air terjun ada diatas kamera.  Otomatis aku harus turun menuruni tebing.  Beeuh.. tebing yang dilalui berkemiringan 45 derajat !  Terseok-seok dan terpleset-pleset lah saat menuruni tebing.  Lumayan licin walau tak basah.  Untung tripod bisa dijadikan penyangga badan.

Begitu sampai dasar, puasin dah hati motret curug dalam model slow motion.  Bermacam-macam gaya.  Baik kamera diarahkan secara vertikal maupun horisontal.  Kadang pindah lokasi dan posisi.  Bebas lepas !

Sayangnya pas kesana, aliran air sungai yang membentuk curug lagi "M".  Kagak bening lembut, tapi coklat kusam dan engga menggairahkan.  Namun sutralah... sudah datang yaa foto aja.  Tanpa ba bi bu.  Hajar !

Kuberi tau sebuah rahasia kecil, kawan.  Setelah selesai memotret dan memberesi perlengkapan, aku dengan penuh semangat menaiki tebing kembali.  Perlahan naik langkah demi langkah.  Rasanya lama sekali.  Sampai tetiba dada terasa sesak dan begah.  Dang !!!

Jarak masih separo kawan.  Tebing terasa semakin curam untuk dipanjat.  Berhentilah aku pada separo jalan.  Ngatur napas yang naik turun.  Mencoba menenangkan diri.  Sementara seorang teman sudah naik.  Seorang lagi masih dibawah.

Akhirnya aku jalan lagi.  Menggunakan energi dari sisa sarapan dan semangat buat hidup.  Perlahan akhirnya sampai puncak dan menggeletaklah aku disamping temanku yang telah tergeletak duluan.  Beginilah dua pria paruh baya yang kehabisan napas.  Black out heheheh.

Curug Awang penuh kenangan.  Black out yang diakhiri dengan satu biji kelapa muda segar di sebuah warung.  Terduduk lemas tak berdaya.  Menjadi pengalaman berharga bahwa untuk motret curug itu butuh fisik bugar.


No comments:

Post a Comment