Geliat Jakarta memang lain dari pada yang lain. Dimana penduduk asli mulai terpinggirkan dan penduduk pendatang semakin menjamur. Entah sudah berapa juta atau berapa puluh juta penduduk yang bertebaran di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan primer tentu saja,
Salah satunya adalah aku. Aku yang akhirnya terjebak oleh arus liar ibu kota. Terpaksa menerobos kerasnya arus, menerjang atau bahkan terseret tanpa daya. Aaahh...
Setiap libur akhir pekan, stasiun Gambir adalah tempat yang paling dituju. Yaa gimana lagi. Jalan hidup yang kudu dilakoni dan engga boleh mengeluh. Kudu jalan dan nikmati. Pulang kampung alias mudik.
Biasanya, aku berhenti di depan Bank Indonesia. Kemudian berjalan kaki menuju stasiun Gambir sambil melewati Monumen Nasional atau Monas. Kereta yang akan membawaku pulang biasanya berangkat jam 21.00. Jadi kalau sore hari sepulang bekerja, aku bisa mendapatkan sunset dari Monas. Okeh bukan ?
Sambil jalan, kadang aku memperhatikan penjual segala macam barang yang bertebaran di arena Monas. Kadang sampai mendesak pertengahan jalan yang melingkari Monas. Hidup memang keras.
Bagi pengunjung, terlihat asik sih. Bisa makan apa aja dan minum apa aja. Bisa maen layangan atau bisa main sepeda listrik. Mau beli kaos ketengan pun ada. Apapun ada dah. Itulah pernak-pernik Monas yang semrawut tapi mengasikkan.
Sambil ngukur jalan, sering saya keluarkan kamera dan mulai jeprat-jepret dengan pola pikir aspret alias asal jepret. Obyek yang sering masuk frame biasanya adalah kucing. Iya kucing ngeong-ngeong liar yang mencari makan di taman Monas. Itungannya banyak sih. Mungkin puluhan atau kalau mau disensus serius bisa ratusan.
Tapi kali ini aku engga nampilin para kucing itu. Karena mereka lagi jadi model di toko online :)
Begitulah hal rutin yang saya lakukan pas jadi jomlo-wan engga jelas. Memacari monas tiap pekan tanpa berpikir macam-macam. Menikmati saja tanpa tau apa hakikat hidup yang dicari.
Eeh tapi.. ngemeng-ngemeng, kamu udah pernah ke Monas belum ?
No comments:
Post a Comment